Senin, 18 Mei 2020

Catatan Pagi

.


Nyonya Kura-kura
By.  Widati

Melihat kue yang membawa selintas bayang rupa uniknya kura-kura, mampu menarik rasa percaya diriku. Ringan bahasa tulisan yang mengikut foto itu,  membuat bibirku kelu, membiarkan hati berbisik lirih di sebatas rongga dada. 

Ah,  biar sajalah!  Aku adalah aku.  Cukup bersyukur dengan segala kekuranganku. Toh,  kura-kura saja mampu membawa tempurung rumahnya kemana kaki hendak menapak.  Seperti goresan abjad yang dirangkaikan oleh Nyonya itu. 
Berterima kasihlah jangan berbalik mencibir pada Nyonya pembuat roti kuker,  juga pada kura-kuranya. 

Tanganku cuma bisa masak alakadarnya saja.  Sifat tomboy dan tak betah berlama-lama di dapur,  membuatku tak bisa selincah tangan si Nyonya cantik itu. Dia memiliki tangan yang mampu menari menyulap gandum,  telur, gula juga mentega menjadi beraneka jenis kue kering nan cantik termasuk kue imut berbahas dasar dengan bentuk ala rumah yang selalu dibawa diatas punggung binatang melata dengan usia panjang itu. Kue kacang.

Selain itu,  kemampuannya merangkai aksara menjadi  penuh makna, sekejap helaan napas sempat menyisipkan iri dalam hati. 

Tapi... 
Aku nggak boleh iri lanjut menarik garis cibiran di lipatan bibir.  Atau pun minder, apalagi ikutan lagunya Noor Huda yang dipopulerkan oleh Ilux ID,  'Aku mundur alon-alon, mergo sadar aku sopo... '
Hasyah! Buruan kibas kuat-kuat bujukan jelek di batas anganmu! Cepetan move on! Hehehe... 

Setidaknya,  tangan cantik milik pencipta kue kura-kura yang juga mampu menggubah rangkaian aksara itu, mampu memberikan kekuatan baru padaku. Bersemangatlah seperti kura-kura,  meski alon-alon tapi tetap terus bergerak menyangga beban hidup diatas punggungnya. 

Semoga suatu saat Allah berikan kesempatan padaku untuk bisa menicipi kuker racikan tangannya. Siapa tahu bisa melecut inginku agar bersemangat untuk belajar ahli bikin roti seperti dia. Cita-cita baik boleh,  kan? 

Ayolah,  kamu pasti bisa! 
#teruslah bisikkan itu dihatimu. 
Bersemangat seperti kura-kura. 
Selamat pagi dunia! 
Terima kasih pada Nyonya pembuat kuker ala punggung kura-kura...
Indah Fatwa Suci atau lebih dikenal dengan nama pena Indah Zein. 

Jangli 19052020

Rabu, 13 Mei 2020

Puisi Hati


Berbalut Luka Fatamorgana
By Widati

Haruskah mengeluh?
Kala letih tapak kaki 
Melangkah menelusuri padang gersang yang membentang
Lewati oase yang menipu mata
Ciptakan berjuta harap dalam kehausan,
Fatamorgana.

Mimpi sekejap menyentuh
Berikan pedih kenyataan
Deretan basa yang telah basi

Nanar mata merasai cinta
Dalam hitungan kedipan
Memandang dan rasakan keindahan dunia

Namun,
Sedetik berlalu, lenyap menghilang
Terbungkam kata erat terkunci
Bahasa tak lagi mampu bicara
Sisakan pedih menyayat perih
Kala takdir torehkan kisah perpisahan di garis kehidupan

Hanya satu masih tertinggal
Nafasku, nafasnya
Jiwa juga darah yang terikat
Mengalir di satu degupan nafas
Mutiara jiwa

Kini terpaku pada lara
Memendam tangis di segurat tawa
Tarikan paksa pada selarik senyum ananda
Terbalut luka dan duka.

Jangli 14052020


Jumat, 08 Mei 2020

Cerpen : Tarian Hati Untuk Bidadari Semarang

Tarian Hati Untuk Bidadari Semarang


6 Januari 2013.  Hhhh… Seorang pemuda berambut cepak dengan perawakan tegap,  menarik oksigen lewat dua cuping indera penciumannya sejenak mengisi rongga dada lalu melepasnya kembali. Ada garis lengkung manis melintang di antara dua pipinya. Selaksa rasa yang berbulan lalu dilipat rapi disudut hati, kini pelan-pelan mulai menggeliat manja. Rindu. 
Dua penopang tubuhnya satu persatu  menuruni anak tangga tangga dari burung bermesin  yang membawanya terbang. Sebagai anak sulung, memendam perasaan selama 6 bulan setelah kepulangannya yang terakhir ketanah kelahirannya. Saat ini, semua terasa berat jika harus dibandingkan dengan 8 tahun masa penuh perjuangan saat merantau di ibukota, sebelumnya. Tak akan ada yang tahu dengan apa yang akan terjadi di beberapa menit ke depan dalam pengembaraan hidup manusia. 
Tanpa sebab dan pesan.   6 bulan yang lalu. Pak Ramelan, satu dari sepasang  bidadari surga milik Dewangga menghilang kembali ke pangkuan pemilikNya. Setelah kepergian sang ayah. Hatinya berasa tersayat sembilu, setiap kali  ganglia pendengarannya menangkap kisah sepi yang terlontar dari pengucap lisan sang ibunda. Saat itu juga, ingin rasanya dia bisa terbang pulang. Untuk mendekap dan menemani bidadari surga yang kini masih tertinggal.   Meskipun di tanah kelahirannya banyak terselip kisah pahit. Namun, asa untuk segera kembali ke tanah kelahirannya semakin tinggi  menumpuk di angan-angan. 
Sudah menjadi hukum alam dalam kehidupan. Bahwa yang terlihat bahagia belum tentu dia tak menyimpan kepedihan. Pun dengan kegairahan yang erat dipertahankannya tak lepas dari keputus asaan. Suka dan duka adalah bagian warna dalam kehidupan.
Venice Van Java. Julukan yang diberikan Belanda pada tanah kelahirannya. Semarang. Karena memiliki banyak aliran sungai melintang ditengah kota, bak Venice di Italia. Dengan sedikit bergegas dia keluar dari bandara. Kepalanya menengok kekanan dan kekiri  mencari sesuatu. Jika Pak Hanafi, DIRUT PT Palya Gopala tempat dia bekerja sekaligus orang yang telah banyak membantu kesuksesan karir Dewangga, tidak memberikan acc padanya untuk pindah ke anak cabang perusahaan. Tentu dia harus kembali meniti karir baru dari nol.  
“Mas Dewangga!” Suara seorang remaja laki-laki yang berjalan bersama pria seusia Dewangga membuyarkan lamunannya. Satria dan Reno tampak mengembangkan senyuman kearahnya
“Hai! Awakmu kok tambah  kuru? 1). Masih suka begadang dan keluyuran malam ya?” Dewangga tersenyum meletakkan travel bag. Untuk kemudian dia merengkuh dan memeluk tubuh  adik bungsunya. 
 “Hallo brow, piye kabare? 2) Badanmu makin subur, aja.” celetuk pria yang datang bersama adiknya. Dia adalah Reno, sahabat Dewangga semasa SMA. Seorang sahabat sejak duduk dibangku SMA. Orangnya baik hati, tulus, sedikit urakan tapi penuh perhatian. 
“Ahh..kamu bisa saja. Kamu tuh, yang terlihat lebih bulet. Hahaha,” Dewangga melepaskan pelukan adiknya dan berganti menjabat erat tangan Reno.
 “Ayo Mas, kita segera pulang. Ibu sudah menunggu mas dari tadi pagi,” Satria menyela percakapan 2 sahabat yang lama tidak pernah berjumpa. Pesawat yang ditumpangi Dewangga memang mengalami delay satu jam, karena ada trouble perkiraan cuaca. Jadi kedatangannya sedikit terlambat.
 Ketiga pemuda itu bergegas menuju mobil Reno. Avanza berwarna metalik itu pun segera meluncur di lintasan abu-abu panjang.  
“Ren, tolong mampir ke Sanggar Greget sebentar, ya,”
“Oke, siap bos,” sahut Reno seraya menempelkan ujung kelima jari tangan kanannya ke kening,”kamu masih aktif menari to, Ngga?”
“Iya, buat ngisi waktu. Lagi pula untuk melestarikan sebagian budaya bangsa kita. Iya, kan?”
Reno  sangat salut dengan kecintaan sahabatnya pada dunia seni. Menari  benar-benar menjadi bagian dalam hidupnya.  Meskipun sudah bekerja disebuah perusahaan bonafit di Jakarta, tapi dia masih aktif dan sempat beberapa kali menjadi duta seni ke manca negara. Dan sanggar greget adalah tempat dimana dulunya Dewangga dan ayahnya bernaung.
 “Kedatanganmu pas sekali, Ngga. 2 minggu lagi, Kania menikah. Kamu mau kan menari di acara resepsinya?” ucap Reno sesaat setelah mereka mampir dari sanggar tari Greget.
“Hah, Kania menikah? Dapat orang mana?”
“Orang deket kok. Dan pastinya bukan wong edan 3),” bertiga mereka terawa girang. 
Kotak bermesin milik Reno mulai berjalan perlahan saat memasuki halaman rumah Dewangga. 
“Ibu,” Dewangga melompat turun dari mobil. Rindu yang ada di hati membuncah saat melihat sesosok wanita tua yang mulai meringkih menanti kedatangannya di muka pintu. Dia berlari kecil menuju kedalam rentangan kedua tangan wanita pendahulunya itu. 
“Angga,” hanya sepenggal nama yang mampu terucap dari bibir ibunya. Dua netra wanita rapuh itu nampak mulai mengembun.
Angga pulang, Bu. Sekarang Aku akan selalu ada disisimu. Menemani menghabiskan masa tuamu. Aku akan menjaga dan membahagiakan 3 harta berhargayang kau tinggalkan, Pak. Lirih nurani Dewangga berbisik. Ditenggelamkannya tubuhnya kedalam pelukan sang ibu.
******
Sing unik  mas, goyang Semarang
kendang dinamis, bikin pinggul bergoyang….
Akhirnya, dengan iringan instrument kendang, kempul, ketipung, boning barung, kecrek, rebeb, suling dan terompet, tuntas sudah tarian yang disajikan oleh Dewangga. Seraut wajah lelaki renta mengikut perasaan puas yang menyisip kedalam sanubari setiap kali dia selesai menari. Bapak. 
Sesuai  dengan permintaan Kania adik sahabatnya, Reno. Dibantu dua teman wanita dan satu orang teman dari Sanggar Greget, dia berhasil menuntaskan serangkaian Tari Semarangan. Kesenian tradisional khas Semarang. Tari yang menyuguhkan gerakan yang sangat rancak dan dinamis, menceritakan  kegembiraan para kawula muda. Dengan tiga ragam gerak baku yang berpusat pada pinggul yaitu, ngondhek, ngeyek dan genjot
 “Terima kasih, Ngga. Kamu memang ahabatku yang polke. Jempol dan oke,” suara kagum penuh kepuasan Reno mengejutkan Dewangga,”ada yang mau ketemu sama kamu tuch.”
Sambil membetulkan posisi kancing kostum menarinya. Dewangga memutar pandangan mencari seseorang yang dimaksud oleh Reno, “mana? Siapa?”
“Dia menunggumu di ruang pesta,” berita dari Reno membuat Dewangga bergegas melangkah ke ruang resepsi. Beberapa orang pegawai katering terlihat sibuk mengemasi perlengkapan makan. Dewangga menghentikan langkahnya dan memutar pandangan kesegala arah. 
“Tuh,” jari telunjuk tangan Reno menunjuk kearah seorang wanita berambut panjang sepinggang. Dress panjang merah marun lengkap dengan cardigan berwarna putih tulang, lekat melilit tubuh rampingnya.
”Ara!” Reno memanggil gadis itu. 
Ara? Hati kecil pria penari tari semarangan itu membisik bertanya. Dan…memang benar. Saat gadis yang dipanggil membalikkan badannya.  Dia memang Asmara. Gadis yang pernah mengisi kisi-kisi hati Dewangga dengan taburan bunga cinta. Sekaligus menghempaskannya pada jurang kepahitan, seminggu setelah jalinan kisah cinta mereka baru saja terajut.
*****
“What! Kamu menolak Revan si ganteng, tajir, idola sekolah kita? Dan,  malah memilih Dewangga si anak guru tari kenthir 4) itu?” cerocos Lina teman gengnya Asmara.
“Asmara...Asmara. Kamu nggak salah pilih, Ra? Emang kamu nggak takut apa? Jika nanti penyakit kenthir ayahnya itu menurun ke generasi penerusmu nantinya?” Neyna yang juga teman satu gengnya ikut menyela.
“Sssttt…jangan keras-keras!” sahut Asmara penuh misteri.
“Atau, kamu hanya ingin menjadikannya sebagai bahan mainan?” desak Lina. 
“Hey, kalian jangan ngomong  begitu dong. Nanti kalau Dewangga dengar kata-kata kalian, bagaimana? Bisa runyam, tau,” sambil tersenyum kecil  Asmara berucap. Sikap cewek yang baru seminggu menerima cintanya itu  membuat hati Dewangga sakit. Gadis cantik dan populer di sekolahnya itu terlihat biasa saja saat mendengar olok-olokan  dari kedua sahabatnya. Dia tidak marah kekasihnya direndahkan. Tidak juga berusaha untuk  membela. Dewangga benar-benar merasa marah dan  terhina.
Jangan-jangan Ara punya rencana jahat dibalik kata-kata sayangnya padaku. Terbersit curiga di hati kecil Dewangga. Sebelum Asmara memergoki keberadaannya,  dia berlalu dari depan pintu kelas 3-IPA2. Dan sejak saat itu sampai masa pengumuman kelulusan tiba, Dewangga selalu menghindarkan diri dari bertemu dengan Asmara secara berdua saja. Selalu ada alasan dari pria muda itu untuk menghindar. 
 “Dewangga,” suara lembut itu memporandakan kenangan masa lalu Dewangga. Mulutnya masih terkatup rapat, membisu. Sejak kejadian itu, Dewangga memilih untuk menjauh dari yang namanya perempuan. Dia berusaha untuk tahu diri, siapa dirinya. Dia hanya anak seorang guru tari yang mengalami gangguan kejiwaan dan tak akan mampu menyekolahkan anaknya ketingkat yang lebih tinggi. Jangankan untuk kuliah, untuk makanpun harus berhutang kesana kemari. Kata-kata meremehkan yang seperti itu, memang sudah sering didengarnya. Tapi lain untuk saat itu, karena yang menjadikan bahan perbincangan adalah gadis yang baru genap seminggu menerima ungkapan perasaan cintanya.
“Dewangga,” untuk yang kedua kali gadis itu menyebut namanya. 
“Yy-ya?” Dewangga mencoba menutupi perasaan aneh yang menyusup kedalam hatinya. Ada dendam dan sakit juga ada desir aneh  menyentuh kisi-kisi hatinya. Saat dia menatap wajah gadis didepannya. 
 “Bagaimana kabarmu? Sekarang kamu kerja dimana? Aku turut berduka saat mendengar kabar tentang meninggalnya Pak Ramelan, ayahmu,”
“Terima kasih.” Dewangga berusaha mengalihkan tatapan matanya dari wajah gadis itu. Dia berusaha keras mengusir perasaan yang mengganggu hatinya.
Kamu  masih sama seperti dulu, Ra. Tidak banyak berubah. Masih tetap cantik dengan dua lesung pipit dan bulu mata yang lentik.  Andai saja…  Dewangga berusaha menepis khayalan dalam angannya.
“Sebenarnya aku punya salah apa denganmu, sampai-sampai kau harus menghindar, bahkan sampai menghilang lenyap dariku? Kau putuskan hubungan kita secara sepihak tanpa ada penjelasan apapun,” kedua netra gadis itu menatap penuh tanya.
“Maaf, aku harus segera pulang,” sahut Dewangga seraya melangkahkan kedua penopang tubuhnya keluar dari gedung Dharma Wanita.
“Tunggu Dewangga!” Asmara menarik tangan Dewangga, mencoba menahan kepergiannya,” apa salahku yang sebenarnya, sampai-sampai kau memutuskan aku tanpa penjelasan? Tolong jawab pertanyaanku, Ngga. Please!”
Dewangga menghentikan langkah kakinya. Rahangnya mengatup rapat kedua tangannya mengepal menahan perih yang mendobrak dada. Asmara semakin merasa terperosok kedalam kubangan sesal saat melihat ada selarik bara marah melintas di dua bening netra yang dulu membuat dia galau, terjebak dalam perasaan cinta. 
“Cukup! Tidak perlu dibahas lagi. Biarkan masalah itu menjadi bagian dari masa lalu,”
 “Tapi, Dewangga. Aku butuh penjelasan darimu. Jangan biarkan aku terombang-ambing dalam ketidak jelasan. Aku tahu, sebenarnya masih ada perasaan cinta dihatimu untukku.”
“Cukup, Ara! Sudah tidak ada lagi rasa cinta dihatiku. Cinta tak pantas untuk anak seorang guru tari yang kenthir seperti aku!” nada bicara Dewangga yang berubah meninggi membuat Asmara terkejut. Ternyata tebakannya selama ini benar. Tindakan menghindar dan pemutusan jalinan kasih secara sepihak antara mereka karena Dewangga mendengar gurauan sahabat-sahabatnya sewaktu dikelas dulu. 
“Maafkan aku dan sahabat-sahabatku, Ngga. Kamu sudah salah paham. Mereka hanya bercanda. Andai saja kamu tidak terus menghindar dariku, mungkin kesalah pahaman tidak akan selarut ini,”
“Bercanda? Apakah menurutmu kemiskinan dan penyakit yang diderita oleh ayahku pantas dijadikan bahan bercandaan? bagaimana jika hal yang serupa  terjadi padamu. Apakah kau tidak marah dan menerima begitu saja?” Pecah sudah gelombang amarah yang dipendamnya selama ini.
“Tapi, aku benar-benar sangat mencintaimu, Ngga,” suara Asmara terdengar sangat memelas,”selama ini aku selalu menunggu saat-saat seperti ini. Bisa bertemu  denganmu lagi. Aku ingin kita kembali seperti dulu lagi.”
“Lupakan semuanya, Ra. Untuk saat ini, aku bukan laki-laki yang baik untukmu. Berdoa sajalah semoga Tuhan memberikan kita untuk berjodoh,” Dewangga melangkah pergi meninggalkan Asmara terpaku seorang diri. Tanggul di matanya sudah tidak mampu menahan desakan aliran air yang terus mendesak. Tumpah.
Kemuning senja merona diufuk barat, menyambut langkah patah Dewangga. Terukir janji hati  di hamparan cakrawala angan sang penari. 
Maafkan aku, Ra. Sebenarnya aku juga masih sangat mencintaimu. Tapi untuk sat ini aku masih belum mampu.  Suatu saat nanti, jika aku sudah berhasil dan Tuhan menentukan kita berjodoh. Aku akan kembali padamu, bidadari Asmaraku. Semoga kamu mampu menjaga hati dan rasamu sampai nanti tiba masanya aku menjemputmu dengan kereta kencana bertahtakan bahagia. Janji Dewangga dalam hati.

***** THE END *****