Sabtu, 13 Juni 2015

"Cerpen-Ku"

Adityaku - Taman firdausku

Sampai kapan cobaan ini akan terus berlaku, Tuhan?
Memandang  wajah matahari pertamaku. Tertidur pulas di atas pembaringan besi tua didalam kamarnya. Tubuhnya terlihat semakin kekar, kulitnya bersih, tampan dan wajah pulasnya terlihat begitu damai. Wajahnya semakin membuatku sadar bahwa  inilah hidup dan takdirku.
Seribu tanya terus melagu dalam sepanjang kehidupanku. Bukan karena Married by accident, melainkan karena kekolotan orang tua. Di usia 20 tahun aku harus menikah. 
Ora ilok adhi nglangkahi mbakyu utawa kakangne,” 1) mitos jawa itu masih begitu kental dianut oleh ibuku.  Aku harus memupus semua impian dan cita-citaku menjadi dokter. Semua demi orangtua dan adik bungsuku.
Satu tahun setelah menikah, anak laki-laki pertamaku terlahir dengan berat badan 3,4 kg, panjang 51 cm, anggota tubuh lengkap, wajah cukup tampan. Bagiku dia seperti matahari yang menyinari kehidupanku, dia adalah anugerah yang  sempurna.  Kuberi nama bayi mungilku Aditya. Ceritapun terus bergulir sesuai dengan kehendakNya.
Dibulan ke 8, awal masalah mulai muncul. Aditya terjatuh dari gendongan keponakanku. Dan  aku tidak tahu. Semalaman penuh panas badannya tinggi. Mulutnya mengatup rapat hingga lidahnya tergigit kuat. Aditya kejang! Aku panik dan melarikannya kerumah sakit.
Satu bulan lebih Aditya harus dirawat intensif. Tanpa seijin dari pihak keluarga, dokter yang menangani kasus penyakit anakku melakukan operasi pengambilan sungsum tulang belakang. Sebagai keluarga awam yang tidak begitu mengerti tentang  kedokteran, kami hanya bisa diam menerima.
Ikhlas. Mungkin memang sudah menjadi takdir dalam garis kehidupanku. Satu bulan setelah pulang dari rumah sakit, tidak ada perkembangan yang cukup bisa membuat hati gembira. Aditya hanya bisa tergolek lemah tak berdaya. Kedua kaki dan tangannya lemas. Kehamilan kedua hingga keempat tak mematahkan semangatku dan suami untuk tetap mengupayakan kesembuhannya.
Pernah ada orang yang mengaku pintar meramalkan hidup Aditya hanya sampai usia 20 tahun. Saat Aditya menginjak usia 19 tahun, ucapan peramal itu membuatku berharap-harap cemas. Hidupku bagaikan menghitung waktu. Meskipun  cacat dan membelenggu kebebasan gerakku, tapi aku merasa belum siap  jika harus kehilangan. Aku sangat menyayanginya, melebihi nyawaku. Apapun dan bagaimanapun keadaannya.
Keinginan kuat suamiku untuk bisa menyembuhkan Aditya, telah menyeretnya ke alur yang salah. Dia mengikuti aliran hitam. Ritual di tempat-tempat terlarang  sering dilakukan. Benteng Pendem Cilacap, adalah salah satu tempat angker yang sering di gunakannya untuk menepi. Hingga suamiku terjebak dalam perjanjian setan. Kesembuhan tidak didapat namun justru kesesatan menggenggam erat.
Belum juga usai cobaan Aditya, suamiku justru mengalami sakit yang sangat aneh. Selalu berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Aku bingung menghadapinya. Seorang paranormal dari Banten mengatakan bahwa raga suamiku di tawan oleh penguasa laut kidul. Dan akan dikembalikan saat suamiku menginjak usia  lima puluh tahun.
Sejak saat itu, hampir setiap tahun penyakit aneh suamiku kambuh. Aku harus pontang-panting berjuang merawat suami dan keempat anakku. Aku harus mencari nafkah untuk  bertahan hidup dan sekolah ketiga anakku. Semakin hari biaya hidup semakin naik. Beribu doa mengalir setiap detik dalam kebimbanganku.
Malam gelap memayungi cakrawala dinginpun menyelimuti atmosfir bumi. Hujan mengguyur kampung tempatku tinggal. Aku memandangi suami yang  sedang kambuh dan keempat marahari kecilku yang tertidur pulas.
Mampukah kami bertahan hidup dalam kondisi seperti ini, Tuhan? Jika Kau ijinkan ambillah kami secara bersamaan, jangan sisakan barang satupun! Salahkah jika aku pernah menyelipkan sebuah pinta dalam doa malamku.
Untuk kerja jauh dari rumah aku tidak bisa. Aku harus memilih kerja yang bisa aku lakukan dirumah. Karena semakin bertambah usia, badan aditya semakin bertambah besar.  Untuk mandi dan BAB, dia harus di bawa kekamar mandi.  Tidak ada yang bisa merawat Aditya selain aku dan suamiku.
Alhamdulillah Tuhan membukakan jalan melalui usaha jahitan yang aku buka dirumah. Hasilnya memang tak seberapa  tapi aku sangat bersyukur setiap kali menerima uang dari hasil jahitanku. Dari usaha itu kami  bertahan hidup.
 Kini 40 tahun usia Aditya. Dengan semua ujian yang Tuhan beri, aku mendapatkan banyak pengalaman hidup. Dan dengan keterbatasan yang diberikan pada Aditya, Tuhan membuatku menjadi sosok yang berbeda.
Tuhan tak pernah memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya. Ujian dan cobaan yang diberikan adalah untuk mengukur sebatas mana seorang hamba pantas menjadi makhluk pilihan sebagai penghuni taman firdausNya.
Terus berprangka baik terhadap semua ketentuanNYA. Semua akan indah pada akhirnya. Tak selamanya balasan di terima didunia. Masih akan ada kehidupan selanjutnya. Dunia akhir.
*****The End*****

Nama lengkapku Sri Widati, Mutiara Chinta nama penaku. Seorang ibu rumah tangga yang terlahir di Semarang tanggal 27 April 1975. Ingin menjadikan menulis sebagai sahabat karena menulis adalah terapi, membuat ringan langkah di jalur kehidupan yang keras dan penuh liku. Bisa dihubungi di Fb Mutiara Chinta atau melalui email s_widati@yahoo.co.id.
Tulisan ini pernah ikut dalam antologi pena Indis, “Karena Aku Berbeda”.