Adityaku - Taman
firdausku
Sampai
kapan cobaan ini akan terus berlaku, Tuhan?
Memandang wajah
matahari pertamaku. Tertidur pulas di atas pembaringan besi tua didalam
kamarnya. Tubuhnya terlihat semakin kekar, kulitnya bersih, tampan dan wajah
pulasnya terlihat begitu damai. Wajahnya semakin membuatku sadar bahwa inilah hidup dan takdirku.
Seribu tanya terus melagu dalam sepanjang kehidupanku.
Bukan karena Married by accident, melainkan
karena kekolotan orang tua. Di usia 20 tahun aku harus menikah.
“Ora ilok adhi
nglangkahi mbakyu utawa kakangne,” 1) mitos jawa itu masih begitu kental
dianut oleh ibuku. Aku harus memupus
semua impian dan cita-citaku menjadi dokter. Semua demi orangtua dan adik
bungsuku.
Satu tahun setelah menikah, anak laki-laki pertamaku
terlahir dengan berat badan 3,4 kg, panjang 51 cm, anggota tubuh lengkap, wajah
cukup tampan. Bagiku dia seperti matahari yang menyinari kehidupanku, dia adalah
anugerah yang sempurna. Kuberi nama bayi mungilku Aditya. Ceritapun
terus bergulir sesuai dengan kehendakNya.
Dibulan ke 8, awal masalah mulai muncul. Aditya terjatuh
dari gendongan keponakanku. Dan aku tidak
tahu. Semalaman penuh panas badannya tinggi. Mulutnya mengatup rapat hingga
lidahnya tergigit kuat. Aditya kejang! Aku panik dan melarikannya kerumah
sakit.
Satu bulan lebih Aditya harus dirawat intensif. Tanpa
seijin dari pihak keluarga, dokter yang menangani kasus penyakit anakku
melakukan operasi pengambilan sungsum tulang belakang. Sebagai keluarga awam
yang tidak begitu mengerti tentang kedokteran, kami hanya bisa diam menerima.
Ikhlas. Mungkin memang sudah menjadi takdir dalam
garis kehidupanku. Satu bulan setelah pulang dari rumah sakit, tidak ada
perkembangan yang cukup bisa membuat hati gembira. Aditya hanya bisa tergolek
lemah tak berdaya. Kedua kaki dan tangannya lemas. Kehamilan kedua hingga
keempat tak mematahkan semangatku dan suami untuk tetap mengupayakan kesembuhannya.
Pernah ada orang yang mengaku pintar meramalkan hidup
Aditya hanya sampai usia 20 tahun. Saat Aditya menginjak usia 19 tahun, ucapan
peramal itu membuatku berharap-harap cemas. Hidupku bagaikan menghitung waktu.
Meskipun cacat dan membelenggu kebebasan
gerakku, tapi aku merasa belum siap jika
harus kehilangan. Aku sangat menyayanginya, melebihi nyawaku. Apapun dan
bagaimanapun keadaannya.
Keinginan kuat suamiku untuk bisa menyembuhkan Aditya,
telah menyeretnya ke alur yang salah. Dia mengikuti aliran hitam. Ritual di
tempat-tempat terlarang sering dilakukan.
Benteng Pendem Cilacap, adalah salah satu tempat angker yang sering di
gunakannya untuk menepi. Hingga suamiku terjebak dalam perjanjian setan.
Kesembuhan tidak didapat namun justru kesesatan menggenggam erat.
Belum juga usai cobaan Aditya, suamiku justru
mengalami sakit yang sangat aneh. Selalu berteriak-teriak seperti orang
kesurupan. Aku bingung menghadapinya. Seorang paranormal dari Banten mengatakan
bahwa raga suamiku di tawan oleh penguasa laut kidul. Dan akan dikembalikan
saat suamiku menginjak usia lima puluh
tahun.
Sejak saat itu, hampir setiap tahun penyakit aneh
suamiku kambuh. Aku harus pontang-panting berjuang merawat suami dan keempat
anakku. Aku harus mencari nafkah untuk bertahan hidup dan sekolah ketiga anakku. Semakin
hari biaya hidup semakin naik. Beribu doa mengalir setiap detik dalam
kebimbanganku.
Malam gelap memayungi cakrawala dinginpun menyelimuti
atmosfir bumi. Hujan mengguyur kampung tempatku tinggal. Aku memandangi suami
yang sedang kambuh dan keempat marahari
kecilku yang tertidur pulas.
Mampukah kami
bertahan hidup dalam kondisi seperti ini, Tuhan? Jika Kau ijinkan ambillah kami
secara bersamaan, jangan sisakan barang satupun! Salahkah jika aku pernah menyelipkan sebuah pinta
dalam doa malamku.
Untuk kerja jauh dari rumah aku tidak bisa. Aku harus
memilih kerja yang bisa aku lakukan dirumah. Karena semakin bertambah usia,
badan aditya semakin bertambah besar. Untuk
mandi dan BAB, dia harus di bawa kekamar mandi. Tidak ada yang bisa merawat Aditya selain aku
dan suamiku.
Alhamdulillah Tuhan membukakan jalan melalui usaha
jahitan yang aku buka dirumah. Hasilnya memang tak seberapa tapi aku sangat bersyukur setiap kali menerima
uang dari hasil jahitanku. Dari usaha itu kami bertahan hidup.
Kini 40 tahun
usia Aditya. Dengan semua ujian yang Tuhan beri, aku mendapatkan banyak
pengalaman hidup. Dan dengan keterbatasan yang diberikan pada Aditya, Tuhan membuatku
menjadi sosok yang berbeda.
Tuhan tak pernah memberi cobaan melebihi batas
kemampuan hambaNya. Ujian dan cobaan yang diberikan adalah untuk mengukur
sebatas mana seorang hamba pantas menjadi makhluk pilihan sebagai penghuni taman
firdausNya.
Terus berprangka baik terhadap semua ketentuanNYA.
Semua akan indah pada akhirnya. Tak selamanya balasan di terima didunia. Masih
akan ada kehidupan selanjutnya. Dunia akhir.
*****The End*****
Nama lengkapku Sri Widati, Mutiara Chinta nama penaku.
Seorang ibu rumah tangga yang terlahir di Semarang tanggal 27 April 1975. Ingin
menjadikan menulis sebagai sahabat karena menulis adalah terapi, membuat ringan
langkah di jalur kehidupan yang keras dan penuh liku. Bisa dihubungi di Fb
Mutiara Chinta atau melalui email s_widati@yahoo.co.id.
Tulisan ini pernah ikut dalam antologi pena Indis,
“Karena Aku Berbeda”.